14.9.08

Siapa yang Ngga Beretika? Shame... Part II

Saya menemukan kejadian serupa.


Sial...




Saya dan teman menaiki angkot, menuju kolam renang Villa Duta. Dalam angkot itu terdapat kurang lebih 7 orang. Satu anak SMP, 2 anak SMA (saya dan teman), 2 bapak-bapak, 2 mas-mas. Posisinya saya dan teman berada di pojok kursi panjang (kanan) dan di sebelah saya ada mas-mas, kemudian anak SMP di pojok kursi kiri, selanjutnya 2 bapak-bapak. Salah satu bapak-bapak itu berada di hadapan saya. Bapak dengan kacamata, gigi kuning, dan perilaku kurang menyenangkan.

Saat memutar di jalan tol, bapak yang di depan saya ini menyalakan rokok. Tapi sepertinya sulit sekali pematik itu menyala. Haha... ngga diridhoin itu.. ujar saya dalam hati. Senyum saya yang mengembang tanpa sadar pun terlihat oleh bapak yang sedang kesulitan itu.

Rokok pun menyala, asap ke mana-mana. Fuuhhh..... Saya tetap tersenyum sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung. Mana mau kerudung saya jadi bau gara-gara dia?

"Buruk ya dek?"

Loh, tau juga toh pak? Dikira ndak ngerti etika.

Saya pun mengangguk antusias.

"Tegas dong jawabnya."

Jih...

"Iya, Pak. Buruuuk... banget ngerokok di angkot. Kenapa ngga dimatiin aja? Bapak kan ngerti." Aneh juga nih. Pinter tapi tetep aja...

Tetap senyum.

"Saya tuh ngga enak kalo ngga ngerokok. Mulut sepet. Pokoknya harus ngerokok, dek..."

Tetap senyum. Tapi mulai kesel juga.

"Lah, kok mikirin diri sendiri sih, Pak? Bapak kan naik angkot. Ada saya, ada temen saya, ada yang lainnya. Kalau mau egois sih, saya juga bisa bilang 'Kerudung saya jadi bau gara-gara asap yang dibuat Bapak'. Gimana?"

Teman-teman, saya serius mengatakan ini. Saya sudah sangat kesal melihat giginya yang kuning dan terus dibiarkan kuning.

"Sekolah di mana, dek?"

Kebiasaan perokok dalam angkot: mengalihkan pembicaraan.

"Di SMA 1, Pak."

"Ooh... Juanda ya?"

Angguk.

Dan Bapak itu terus menghembuskan asap rokok.
Tak berhenti.
Seolah ucapan saya hanya asap yang bisa keluar dari jendela.
Saya pun tidak tahan.

"Pak, kan di Bogor sudah ada larangan merokok di tempat umum."

"Ngga ada..." jawabnya enteng.

"Ada Pak. Perda nomor .... hummm... Perda Bogor nomor 8... tahun 2006. Kan sudah sering ada di stiker."

"Ngga ada. Cuma ada di Jakarta!"

Keukeuh siah!

"Beneran, Pak! Ada!"

Si Teman memegang tangan saya, isyaratkan saya untuk berhenti. Tapi saya tidak bisa membiarkan orang ini! Sial!

Bapak menyebalkan itu pun berbicara pada temannya,
"Wah, kita ngga boleh kalah sama *** (nama salah satu partai), bisa-bisa negara kita dilarang merokok."

JIH! Bawa nama partai? ANEH! GA NYAMBUNG!

"Bukan gitu, Pak. Boleh saja merokok di rumah masing-masing. Tapi tidak di tempat umum..."

"Kita kan orang *** (nama salah satu partai lagi).... bla bla bla bla..."

Wajah saya ... Entah apa yang terjadi pada wajah saya. Saya tetap tertawa. Menertawakan orang ini. Ya sudahlah. Buat apa mengurusinya?

Dia pun menukar tempat duduk dengan temannya ke ujung dekat pintu. Mungkin agar terlihat baik hati karena tidak menghembuskan asap rokok di depan muka orang. Kemudian temannya itu menjelaskan hal yang tidak masuk akal, meskipun terlihat bijaksana. Orang merokok tetap saja tidak tahu diri. Tidak menghargai diri sendiri dan ORANG LAIN. EGOIS.

Perjalanan yang tidak menyenangkan ini akhirnya selesai. Dengan kesal, sambil tersenyum maksa saya berkata kepada mereka,

"Terimakasih atas diskusinya..."

Tidak ada komentar: